 VIVAnews - Pemerintah rupanya diam-diam mengajak  Jepang membangun kereta supercepat antara Jakarta-Bandung. Dengan kereta  itu jarak tempuh sepanjang 144 kilometer itu hanya 45 menit.
VIVAnews - Pemerintah rupanya diam-diam mengajak  Jepang membangun kereta supercepat antara Jakarta-Bandung. Dengan kereta  itu jarak tempuh sepanjang 144 kilometer itu hanya 45 menit.Ini  waktu sangat memukau mengingat perjalanan kereta saat ini masih  membutuhkan 3 jam, sedangkan menggunakan bus sekitar 2-3 jam.
Pemerintah  Jepang telah menunjuk Japan Railway Technical Service, sebagai rekanan  Yachiyo Engineering Co. Ltd, untuk menggarap pra-studi kelayakan. Studi  ini diperkirakan membutuhkan waktu 4-12 bulan.
Dirjen  Perkeretapian Kementerian Perhubungan Tundjung Inderawan mengatakan,  skema pembiayaan pembangunan kereta api supercepat akan dikerjasamakan  dengan swasta melalui mekanisme Public Private Partnership (PPP).  Namun, pemerintah akan mengambil bagian tak lebih dari 50 persen. "Ini  yang sedang dibicarakan," kata Tundjung di Jakarta, Senin 19 Maret 2012.
Untuk konsepnya, Tundjung mengungkapkan akan dibuat rel-rel baru yang  dimulai dari Dukuh Atas (Sudirman) melewati Stasiun Bekasi, Stasiun  Karawang, Stasiun New Airport, masuk ke Stasiun Bandung dan terakhir di  Stasiun Gede Bage.
Prakiraan sementara, waktu tempuh perjalanan kereta api cepat Jakarta-Bandung sebagai berikut:
1.  Tipe Kereta Api Super Express dengan perjalanan Jakarta - Bandara Baru  (Karawang) - Bandung membutuhkan waktu kurang lebih 45 menit.
2. Tipe Kereta Api Airport Shuttle dengan perjalanan Jakarta - Bandara Baru, membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit.
3.  Tipe Kereta Api Express dengan perjalanan Jakarta sampai Bandung dengan  pemberhentian di setiap stasiun membutuhkan waktu kurang lebih 50  menit.
Rencananya, rute ini akan menggunakan kereta JR EAST Seri E5 dan JR  EAST Seri E2 yang mampu melaju 300 km per jam. Di negeri asalnya, kereta  ini memiliki nama Shinkansen. (Foto kereta supercepat itu bisa dilihat di tautan ini).
Kereta  ini mampu menaklukkan perbukitan Cikampek-Bandung yang memiliki sudut  kemiringan 25 derajat. Bahkan, di tengah tanjakan ini, E5 dan E2 masih  bisa melaju 210 km per jam.
Dalam proposal dua lembaga Jepang, nilai proyek ini mencapai US$5,954 miliar atau sekitar Rp56,108 triliun. Nilai terbesar pada pengerjaan sipil yang mencapai Rp23,6 triliun. Lalu disusul pembangunan rel dan stasiun yang masing-masing Rp3,1 triliun dan Rp3,8 triliun. Sedangkan total biaya konstruksi Rp46,288 triliun.
Pengamat perkeretaapian Joko Setijowarno menyambut baik rencana ini.  Dosen Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, itu mengatakan  proyek kereta supercepat akan saling menguntungkan bagi Jepang dan  Indonesia.
Indonesia bisa memiliki moda transportasi supercepat  yang bisa menggerakkan masyarakat agar lebih produktif, dan Jepang bisa  berinvestasi. "Apalagi banyak perusahaan-perusahaan di sepanjang jalur  itu. Pasti ini sangat menguntungkan mereka," kata dia.
Meski  demikian, dia mengatakan, pembangunan ini tak masalah selagi tak  menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. "Belanda membangun  jalur kereta di Indonesia menggunakan sistem kompensasi, sehingga  pemerintah tak terbebani," katanya.
KAI tak sanggup
PT.  Kereta Api Indonesia (Persero) sendiri mengaku tak sanggup berinvestasi  membangun kereta supercepat ini. "Kami tak sanggup membangun sarana dan  prasarana dengan nilai investasi hingga Rp60 triliun. Pasti tak bisa,"  kata Direktur Utama PT KAI, Ignatius Jonan di Jakarta, Senin.
Jonan  menyampaikan alasan utama mengapa tidak sanggup investasi. Menurut dia,  bila KAI yang berinvestasi bisa berimbas pada harga tiket yang mencapai  Rp500 ribu. "Itu untuk sekali jalan," katanya.
Hal ini berbeda  jika proyek ini dikerjakan oleh swasta dan pemerintah secara  bersama-sama. Dia mengatakan, penumpang kereta Jakarta-Bandung hanya  sekitar 4.000 penumpang per hari. Artinya, bila harga tiket tak mencapai  Rp500 ribu, investasi KAI tak akan untung.
Jonan mengatakan  pentingnya peran pemerintah dalam investasi ini. Sebab, nantinya  pemerintah yang harus menentukan besaran tarif angkutan rakyat itu.  "Karena itu porsi pemerintah harusnya jauh lebih besar dibandingkan  swasta," katanya.
Menurut Jonan, pembangunan kereta api cepat ini  belum jadi kebutuhan mendesak bagi masyarakat Indonesia, karena dilihat  dari pendapatan per kapita masih kecil.  "Kereta ini akan jadi  kebutuhan jika pendapatan per kapita masyarakat sudah di atas US$10  ribu," ujar Jonan.
Jonan menggambarkan banyak negara yang  pendapatan per kapitanya sudah tinggi, tapi belum memiliki kereta  supercepat. "Inggris dan Amerika saja tidak punya. Tapi Jepang, China,  dan Korea punya," Jonan menambahkan.(np)
• VIVAnews
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar