KOMPAS.com — Lembah-lembah yang menghampar di 
sepanjang Bukit Barisan telah lama dikenal kesuburannya. Lembah ini 
sambung-menyambung seolah membuat garis memanjang membelah Pulau 
Sumatera.
Dimulai dari Lembah Semangko di Lampung, menyambung ke 
Suoh, Kepahiang, Ketahun, Kerinci, Muaralabuh, Singkarak, Maninjau, 
Rokan Kiri, Batang Gadis, Angkola, Alas, Tangse, Seulimeum, hingga Banda
 Aceh.
Dikelilingi gunung-gunung api tua, 11 di antaranya masih 
aktif, lembah-lembah ini merupakan tempat mengendapnya abu vulkanis yang
 kaya unsur hara. Air berlimpah dan sebagian terbendung dalam cekungan 
yang terbentuk akibat gerakan tanah ataupun karena letusan gunung api 
purba.
Danau-danau pun tercipta; lima danau di Suoh dan Danau 
Ranau (Lampung), Danau Kerinci (Jambi), Danau Singkarak, Danau Diatas, 
dan Danau Dibawah (Sumatera Barat), Danau Toba (Sumatera Utara), serta 
Danau Laut Tawar (Aceh).
Deretan lembah itu juga kaya dengan air 
panas alami dan menyimpan energi panas bumi. Berdasarkan hasil 
penelitian F Junghun (1854), USGS menyebutkan, sedikitnya terdapat 23 
sumber air panas di sepanjang lembah Bukit Barisan yang berpotensi 
menghasilkan energi panas bumi. Survei yang dilakukan Geothermal Energy 
New Zealand Ltd pada 1986 bahkan menemukan 37 sumber air panas.
Tak
 hanya itu. Berimpit dengan deretan lembah, mengular "sabuk emas" yang 
memasyhurkan Sumatera sebagai Svarnadwipa. Kata dari bahasa Sanskerta 
itu berarti "Pulau Emas" seperti tertera dalam Prasasti Nalanda yang 
dipahat pada tahun 860 Masehi.
William Marsden, dalam bukunya, History of Sumatera
 (1783), menyebutkan, Sumatera pernah diduga sebagai Ophir, tempat 
armada Solomon (Sulaiman) mengambil muatan emas dan gading. Meski dugaan
 tentang Ophir menurut Marsden tak berdasar, pulau ini memang penghasil 
emas tiada tara.
Logam mulia ini, terutama ditemukan di kawasan 
tengah pulau di sepanjang Bukit Barisan seperti di Martabe, Bangko, 
Rawas, Lebong, dan Natal. Minangkabau dianggap sebagai daerah terkaya 
sehingga Belanda banyak mendirikan loji di Padang.
Menurut Marsden, di daerah Minangkabau saja terdapat tidak kurang dari 1.200 lokasi tambang emas.
"Sebanyak
 283.000 gram-399.600 gram setiap tahun tersimpan di Padang, di pasar 
bebas, atau di tangan perseorangan. Sementara itu, kira-kira 28.000 gram
 dipasarkan di Nalabu, di Natal kira-kira sebanyak 23.000 gram, dan di 
Mukomuko 17.000 gram," tulis Marsden.
TM Van Leuwen memberikan gambaran lebih komplet soal produksi logam mulia dari Sumatera. Dalam tulisannya di Journal of Geochemical Exploration,
 edisi ke-50, 1994, dia memperkirakan, total emas yang dikeruk dari 
Sumatera sejak eksplorasi Belanda hingga 1994 mencapai 91 ton dan perak 
sebanyak 937 ton.
Jauh sebelum Belanda datang dan mengeruk emas dari Sumatera, perdagangan emas dari pulau ini sudah berlangsung lama. Dalam buku Barus Seribu Tahun yang Lalu (2003),
 Marie-France Dupoizat dan Daniel Perret menyebutkan, pengelana Tome 
Pires pada awal abad ke-16 mencatat bahwa emas diperdagangkan di seluruh
 pelabuhan di Sumatera, terutama di Barus.
Pelabuhan tua di pantai barat Sumatera Utara ini telah disebutkan dalam karya Ptolomeus, Geographia, yang ditulis pada abad ke-2 Masehi.
Selain
 mencari kapur barus, para pedagang dari berbagai negara juga memburu 
emas yang banyak diperdagangkan pribumi di pelabuhan ini. Logam mulia 
ini diduga dibawa dari sungai-sungai yang berhulu di sekitar Bukit 
Barisan.
Dengan segenap kelimpahan daya hidup, tak mengherankan 
jika lembah-lembah ini telah lama menarik manusia untuk menetap di sana.
 Jejak kebudayaan batu besar atau megalitikum yang tersebar luas di 
sepanjang lembah ini menjadi bukti bahwa manusia purba telah bermukim di
 sana.
Arkeolog dari Balai Arkeologi Palembang, Tri Marhaeni S 
Budisantosa, mengatakan, temuan megalitik di Pulau Sumatera kebanyakan 
tersebar di lembah-lembah sepanjang Bukit Barisan, mulai dari Liwa di 
Lampung hingga di sekitar Kerinci di Jambi.
"Misalnya, megalitik di Kerinci dan Merangin ditemukan sejajar dengan Bukit Barisan sepanjang 80 km," katanya.
Di
 wilayah tersebut telah ditemukan 21 megalitik berbentuk silinder, serta
 satu buah megalitik berbentuk bulat. Selain itu, ditemukan juga enam 
kompleks kubur tempayan. "Mereka memilih daerah ini, terutama karena 
tanahnya subur, cocok buat bercocok tanam."
Banyaknya batuan 
andesit, jenis batuan vulkanik, yang merupakan bahan baku megalitik, 
turut mendukung tumbuh suburnya kebudayaan tua ini di sekitar lembah 
Kerinci dan Merangin. Selain itu, dataran tinggi yang dikepung 
perbukitan ini juga sangat cocok untuk mengembangkan sistem keyakinan 
mereka. Para pendukung kebudayaan megalitik ini percaya, gunung-gunung 
tinggi merupakan tempat bersemayam arwah nenek moyang.
Budi 
Wiyana, sejawat Budi di Balai Arkeologi Palembang, juga menyebutkan 
alasan yang sama dengan ditemukannya sebaran situs megalitik di Lahat 
dan Pagar Alam, Sumatera Selatan.
"Manusia menghuni daerah ini 
karena subur, dan alasan praktis lain seperti dekat dengan sumber air 
yang melimpah dan bahan baku batuan beku andesit," kata Budi Wiyana.
Menurut
 Budi, tradisi megalitik yang ditemukan di kawasan ini sangat lengkap, 
mulai dari dolmen, menhir, arca, arca menhir, teras berundak, lumpang 
batu, batu dakon, dan batu datar. Berbagai peninggalan megalitik ini 
membuktikan bahwa kawasan itu telah dihuni manusia setidaknya sejak 
2.500 tahun sebelum Masehi.
Siang itu, Budi menunjukkan deretan 
batu-batu besar berbentuk meja (dolmen) yang bergeletakan di persawahan 
menghijau di Tegurwangi, Pagar Alam. Di dekatnya terdapat empat batu 
besar berukir yang masing-masing mengggambarkan orang tengah mengendarai
 gajah.
Selain menunjukkan kemajuan budaya saat itu, berupa 
kemampuan menjinakkan gajah, batu berukir juga membuktikan bahwa 
masyarakat zaman itu sudah mengenal pengecoran logam. "Untuk membuat 
ukiran di batu itu, hampir dipastikan menggunakan logam," jelas Budi.
Batu-batu
 raksasa juga ditemukan di rimbun perkebunan kopi milik Robinson (64) di
 Desa Tanjung Batu, Keca Tanjung Sakti, Kabupaten Lahat. Batu dolmen 
berukuran panjang sekitar 2 meter dan lebar 1 meter itu ditumpukkan di 
atas batu-batu kecil di keempat sudutnya.
Di Desa Pajarbulan, 
Kecamatan Tanjung Sakti, Kabupaten Lahat, peninggalan megalitik 
ditemukan di pekarangan belakang rumah warga. Batuan ini biasa disebut 
warga sebagai batu tiang enam. Arkeolog menyebutnya batu tetralit.
Kegunaan
 tetralit masih menjadi perdebatan para ahli. "Beberapa ahli 
berpendapat, tetralit merupakan landasan atau umpak tiang rumah," kata 
Budi. Pendapat ini muncul karena di ujung atas tiang batu itu ada 
semacam cerukan yang diperkirakan untuk meletakkan tiang rumah. (Tim Penulis Ekspedisi Cincin Api Kompas)
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar