Halaman

Senin, 04 Februari 2013

Redenominasi: Hapus Nol demi Gengsi

JAKARTA, KOMPAS.com - Redenominasi? Tahu, sih, cuma itu apaan, ya, maksudnya?” tanya Iin bingung. Pemilik warung mi rebus instan ini mengaku, sebenarnya dirinya sudah pernah mendengar istilah tersebut dari televisi. Cuma, dia belum mengerti makna dan konsekuensi dari kebijakan tersebut.

Pertanyaan Iin bisa mewakili sikap kebanyakan masyarakat yang masih bingung dengan redenominasi. Sebagian lain, meski sudah mengerti makna, tetap bingung atau lebih tepatnya khawatir dengan konsekuensi dari redenominasi. Lalu, apa, sih, redenominasi itu?

Redenominasi rupiah berarti menyederhanakan nominal mata uang kita. Rencana pemerintah dan Bank Indonesia (BI) adalah dengan mengurangi tiga angka nol (0) yang ada di uang rupiah. Jadi, uang kertas yang berdenominasi atau punya nilai nominal Rp 1.000, misalnya, menjadi Rp 1.

Sampai sini, masyarakat tidak perlu panik. Sebab, yang diganti hanya nilai nominal yang tertera di kertasnya saja. Tapi, nilainya tidak berubah. Makanya, “Redenominasi bukan sanering,” tegas Darmin Nasution, Gubernur BI, di konsultasi publik, 23 Januari 2013 lalu.

Pertanyaannya, tentu saja, kenapa kalau nilainya tidak berubah, nilai nominalnya harus diganti? Jawabannya ada di mata uang negara lain: dollar Amerika Serikat (AS).

Kalau melihat nilai tukar rupiah dan dollar AS, memang angkanya sangat jomplang. Saat ini, 1 dollar AS berharga sekitar Rp 9.700. Jangan heran, Indonesia pun memiliki pecahan uang Rp 100.000, terbesar kedua di Asia Tenggara setelah mata uang Vietnam, dong.

Makanya, rupiah menjadi salah satu worst currency atau mata uang yang “jelek” di dunia. “Redenominasi diperlukan untuk meningkatkan martabat rupiah,” ungkap Diffi A. Johansyah, juru bicara BI.

Rupiah terus merosot

Sebenarnya dulu, rupiah yang lahir tahun 1944 silam,awalnya memiliki nilai yang nyaris seimbang dengan dollar AS yakni 
Rp 1,88 per dollar AS (lihat infografis). Pada 7 Maret 1946, nilai rupiah pertama kali dikurangi. Rupiah merosot hampir 30% jadi Rp 2,65 per dollar AS.

Tahun 1950, Syafrudin Prawiranegara yang ketika itu menjabat menteri keuangan melakukan pemotongan nilai rupiah alias sanering dari pecahan Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Pada 25 Agustus 1959, pemerintah kembali melakukan pemangkasan nilai rupiah.

Di 1966, negara kita mengalami inflasi yang sangat parah hingga 635,5 persen . Jangan heran, pada 1971 nilai rupiah sudah mencapai Rp 415 per dollar AS. Tahun 1978, lewat kebijakan Kenop 98, rupiah dipatok  Rp 625 per dollar AS. Tapi, tahun 1985, rupiah sudah menembus angka Rp 970 per dollar.

Pada krisis moneter 1997-1998, nilai rupiah sempat anjlok ke posisi terendah Rp 14.950 per dollar. Tahun 2001 dan 2009, rupiah juga sempat terjun ke level Rp 11.000-an per dollar. Walhasil, setelah lewat 68 tahun, rupiah sekarang ada di level Rp 9.700 per dollar AS.

Karena nilainya sudah merosot itulah, BI dan pemerintah ingin menegakkan nilai rupiah supaya tidak kelihatan memalukan lagi.

Adapun alasan lain penyederhanaan adalah meningkatkan efisiensi dalam urusan pencatatan keuangan. “Pecahan mata uang yang besar dan nol yang berderet itu memang membuat praktik ekonomi tidak efisien,” kata A. Tony Prasetiantono, pengamat ekonomi.

Budi Frensidy, pengamat pasar modal dan pasar uang, juga menilai, redenominasi penting untuk dilakukan. Anggaran Pendapatan dan belanja Negara (APBN), dana pihak ketiga di perbankan nasional, dan kapitalisasi pasar saham Indonesia, sekadar contoh, saat ini sudah dinyatakan dalam satuan ribuan triliun. Menurutnya, untuk belasan miliar saja, kalkulator ilmiah dan kalkulator finansial sudah tidak bisa menghitung, karena hanya berdigit 10, apalagi untuk triliunan.

Tapi, mantan Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli menganggap, argumentasi efisiensi tidak jelas. Argumentasi agar rupiah kelihatan lebih gagah juga sama sekali tidak tepat. “Istilah redenominasi juga membingungkan rakyat biasa,” ujarnya.

Menurut Rizal, mestinya redenominasi dilakukan ketika suatu negara baru saja mengalami inflasi yang sangat tinggi. Dalam kasus itu, redenominasi diperlukan untuk stabilitasi ekonomi. Saat ini, inflasi terkendali. “Kok ujug-ujug mau redenominasi?” imbuhnya.

Rizal menambahkan, kebijakan redenominasi hanya bertujuan memberi kesan bahwa mata uang rupiah kuat. Padahal yang penting, bukan nilainya namun stabilitas nilai tukarnya. Negara seperti China bahkan membiarkan mata uangnya melemah untuk memacu pertumbuhan industri di negerinya.

Nanti, seiring kemajuan ekonomi, mata uang akan menguat sendiri seperti yen. Sehingga, tidak perlu kebijakan yang bersifat artifisial seperti redenominasi. Jadi, “Redenominasi tidak ada urgensinya dan tidak bermanfaat,” tegas Rizal.

Pro dan kontra seputar redenominasi memang merebak. Tapi, pemerintah dan BI jalan terus dengan rencananya. (Umar Idris, Dikky Setiawan/Kontan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar