Halaman

Selasa, 19 April 2011

GDP Cina Masih Rawan

(Vibiznews - Business) - Dalam beberapa hari terakhir, investor menaruh fokusnya kepada laporan kondisi perekonomian China yang telah menjadi barometer perekonomian dunia saat ini. Seperti kita ketahui di pertengahan pekan lalu pemerintah China merilis laporan bahwa pertumbuhan ekonomi China untuk periode kuartal pertama tahun ini mengalami penurunan sebesar 0,1% menjadi 9,7%. Kondisi membawa sebuah kekhawatiran tersendiri menyusul pelemahan ekonomi telah menurun dalam beberapa kuartal terakhir setelah awal tahun lalu sempat melampau level 10%.

Beberapa proyeksi bahkan telah bergulir mengenai prediksi pertumbuhan ekonomi China baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tak terkecuali oleh Diana Chiyleva, Direktur Lombard Street Research yang justru pesimis akan pertumbuhan ekonomi China dalam jangka panjang. Ia mengungkapkan, penurunan perekonomian China dalam beberapa kuartal terakhir akan masih berpeluang berlanjut. Bahkan menurutnya, dalam 1 dekade kedepan tidak menutup kemungkinan bahwa pertumbuhan ekonomi China akan menyentuh level 5%.

Ancaman Kredit Macet Akan Terjadi

Alasan mengapa Diana Chiyleva berpendapat tersebut ialah dilandasi bahwa boom pertumbuhan ekonomi yang terjadi sejak 2 tahun terakhir akan mencapai puncaknya dalam beberapa tahun kedepan. Arus capital inflow, tingginya tingkat ekspor dan meningkatnya konsumsi akan mencapai puncaknya. Disisi lain, beberapa negara pesaing yang memiliki karakteristik ekonomi sama dengan China akan terus mengalami perkembangan yang berarti. India, Brasil, Indonesia bahkan Vietnam akan menjadi pesaing tangguh bagi China di sisi ekspor.

Ditengah kondisi tersebut, menurutnya tingkat konsumsi akan mencapai sebuah titik jenuh dimana masyarakat China akan membatasi tingkat konsumsi yang disaat bersamaan dihadapkan pada kenaikan harga barang akibat kenaikan inflasi. Kenaikan harga secara langsung diakibatkan oleh kenaikan harga bahan pangan setelah harga energi juga mengalami kenaikan. Kenaikan harga barang menjadi penghalang yang konkret bagi konsumen untuk menaikan konsumsinya. Dan, akan dikemanakan hasil "dana" limpahan dari tingkat konsumsi tersebut ? tabungan pastinya akan menjadi hal yang rasional untuk menjadi "penadah" dana sisa konsumsi tersebut.

Chiyleva mengkhawatirkan, berkurangnya tingkat inflasi akan menjadi salah satu faktor bagi pelemahan pertumbuhan ekonomi. Dan secara makro pastinya akan berdampak bagi keseluruhan sektor ekonomi. Baik sektor riil maupun sektor jasa. Produktivitas sektor industri penyedia kebutuhan konsumsi masyarakat pun pastinya akan melesu. lalu apa yang terjadi selanjutnya ? kenaikan jumlah tabungan masyarakat sudah barang tentu akan menguntungkan bagi pihak perbankan. Peningkatan asset yang dimiliki oleh perbankan akan menjadi modal yang cukup untuk mengembangkan sektor kredit.

Oleh karena itu, potensi semakin berkembangnya sektor kredit terutama sektor konsumsi maupun properti nantinya akan semakin tinggi. Seiring dengan itu, resiko pun akan muncul dari sisi kegagalan pembayaran kredit oleh konsumen. Dari hal inilah potensi kredit macet akan terjadi mengingat konsumen lebih memilih untuk melakukan cicilan dibandingkan dengan cash yang terbentur oleh tingginya tingkat inflasi.

Ancaman kredit macetlah yang menjadi sebuah kekhawatiran turunnya performa ekonomi China baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dan pendapat yang dikemukakan oleh Diana Chiyleva pun cukup dapat dimengerti mengingat pemerintah China pun saat ini sudah sadar akan ancaman ini dan berusaha mengeluarkan kebijakan di sektor finansial dan moneter yang salah satunya meningkatkan suku bunga acuan.

Menurut Kristanto Nugroho selaku Komisaris BBJ, untuk mengatasi problem ini sepertinya sudah dilakukan oleh pemerintah China, dimana Bank Sentral China sudah menaikkan bank's reserve requirment sebesar 0.5% berarti menjadi 20.5% untuk perbankan di China. Hal ini untuk menahan ekpansi kredit dari setiap deposit yang diterima oleh perbankan, di sisi yang lain ekpansi ini mengurangi pertumbuhan investasi, namun di sisi yang lain adalah menahan ekpansi kredit konsumsi, property dan mengurangi resiko kredi macet. Oleh sebab itu dengan intervensi monetary policy seperti ini diprediksi bahwa angka pertumbuhan ekonomi yang menurun adalah mungkin saja, namun tidak terlalu drastis.

(Joko Praytno/JP/vbn)
Foto :www.56asianlit.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar