Oleh Sigit Adinugroho
Malam  itu juga saya harus berangkat meninggalkan Östersund untuk mengejar  tujuan utama saya: melintasi garis Lingkar Arktik (Arctic Circle). Ini  sebuah garis semu di atas permukaan bumi yang menandakan batas antara  daerah Arktik dan subtropis.
Saya mempersiapkan ransel dan isinya  dengan diawali kepanikan: tas ransel yang saya titipkan seharian di  resepsionis hotel masih terkunci di ruang penyimpanan barang. Dua puluh  menit  sebelum kereta berangkat, akhirnya saya mendapatkan ransel itu  dan langsung berangkat ke stasiun kereta api.
Saya berangkat dari  stasiun kereta api Östersund yang mungil itu sekitar pukul 21.00,  menumpang kereta jarak dekat menuju kota Bräcke di tenggara. Perjalanan  ini memakan waktu satu jam. Tiba di Bräcke, saya menunggu satu jam lebih  untuk rangkaian gerbong yang akan membawa saya ke Narvik, Norwegia.  Suhu malam hari itu mendekati 0°C dan tak berangin.
Kereta  api datang tepat pada waktunya sekitar pukul 23.00. Gerbong dan tempat  tidurnya mirip dengan kereta yang saya tumpangi dari Stockholm ke  Östersund. Setelah memasang seprai dan meletakkan bantal, saya lalu  merebahkan diri.
Perjalanan ini membelah sisi timur laut Swedia  sebelum berbelok ke arah barat di Boden, lalu berlanjut ke Gällivare,  menembus perbatasan melalui Riksgränsen. Setengah perjalanan ini akan  dilalui pada malam hari sampai matahari terbit.
Pemandangan  antara Boden dan Narvik adalah salah satu pemandangan kereta api  terindah yang pernah saya lihat. Ke mana pun mata memandang, semuanya  serba putih tertutup salju. Saya senang, inilah pertama kali saya  melihat salju.
Kontur lanskap cenderung datar dengan sedikit  bukit di sana-sini berselimutkan salju. Sinar matahari yang masih jingga  berpadu dengan langit yang sungguh biru jernih. Sesekali, kereta  melewati sungai yang membeku. Kami juga melintasi Lingkar Arktik di  pertengahan jalan antara Boden dan Gällivare. Tanpa penanda apa pun,  kejadian itu berlangsung cepat. Tiba-tiba saya mampir ke pekarangan  Kutub Utara!
Di  dalam gerbong, penumpang lain sudah mulai bangun dari tidurnya dan  bergegas ke kereta makan untuk membeli makanan dan minumannya sendiri.  Paket sarapan senilai hampir Rp 100 ribu berisikan roti isi dan  secangkir kopi, teh, atau susu.
(Tidak ada nasi goreng atau “zuppa soup” ala kereta api Parahyangan di sini).
Kereta  berhenti di hampir setiap stasiun, walau hanya sepuluh menit. Di satu  stasiun, terdengar suara para anggota keluarga yang berpelukan dan  melepas rindu, di tengah hamparan salju tebal yang menutupi peron.
Di  stasiun lain, terlihat petugas membersihkan tumpukan salju yang sangat  tebal. Ada juga yang tampak membawa anjingnya berkeliling. Kebanyakan  stasiun kereta api di sini tak punya pagar dan hanya berupa peron  sederhana.
Guna menghindari penumpukan salju pada beberapa  bagian, pemerintah membangun beberapa kanopi kayu berbentuk segitiga  yang sayangnya, agak mengganggu kegiatan menikmati pemandangan.
Ketika  kereta berhenti, saya menyempatkan membuka jendela untuk memotret,  walau saya tahu di luar angin menerjang dan suhu di bawah nol. Semakin  mendekati perbatasan Swedia-Norwegia, jumlah penumpang gerbong semakin  berkurang. Rasanya mereka yang ikut sampai Narvik adalah warga negara  Norwegia sendiri.
Ketika melalui perbatasan, masinis mengumumkan dan memberi ucapan selamat datang ke Norwegia.
Seketika,  lanskap berubah drastis! Kontur datar di Swedia tiba-tiba berganti  ekstrem: perbukitan dengan tebing curam, disambung dengan aliran air  dari hulu dengan bebatuan yang berserak.
Pohon-pohon ramping  yang tumbuh di tebing securam itu membuat saya ternganga. Pemandangan  berubah menjadi fjord (semacam teluk yang tercipta dari lelehan gletser)  bertabur salju, lalu berliuk-liuk, kemudian memberi jalan pada  sekumpulan rumah mungil bercat warna-warni yang ada di tebing seberang.
Peralihan  yang begitu drastis, namun magis dan penuh pesona. Lanskap Norwegia  adalah karya Tuhan yang termasyhur. Komposisinya mencengangkan.
Satu  jam kemudian, kota Narvik terlihat dari atas bukit di kejauhan.  Terletak di pinggiran fjord, kota ini sangat cantik. Tak terbayang oleh  saya, bagaimana kota ini sempat jadi saksi pertempuran antara koalisi  Jerman-Austria yang hendak menduduki Norwegia yang dibantu Inggris.
Narvik,  bagi saya, menjadi “negeri antah-berantah” tempat saya berlabuh untuk  saat ini. Pukul satu siang, saya menjejakkan kaki pertama kali di atas  salju kota ini. Suhu waktu itu masih 0-2 °C. Perjalanan 15 jam ini saya  akhiri dengan rasa puas, namun penasaran.
Apakah saya masih bisa  lebih ke arah utara lagi? Ah, saya biarkan saja rasa penasaran itu  tersimpan untuk edisi perjalanan berikutnya. Bis yang membawa saya ke  tujuan berikutnya melaju kencang melewati tatanan fjord yang  spektakuler, menembus kabut dan sinar matahari di atas jalan yang  berkelok tajam. Sempurna.
Saya merasa berkunjung sendiri ke  negeri Santa Klaus untuk menjemput sebuah bingkisan. Lalu, memikirkan  bagaimana cara membawanya pulang ke selatan melalui pesisir Norwegia.  Barangkali inilah The Polar Express sesungguhnya!
Total biaya yang dikeluarkan
Stockholm - Östersund (7 jam): Sleeper train, 565 krona (sekitar Rp 750 ribu)
Östersund - Bräcke (1 jam): Seat, 63 krona (sekitar Rp 85 ribu)
Bräcke - Narvik (13 jam): Sleeper train, 529 krona (sekitar Rp 708 ribu)
(Di luar makanan dan minuman)
Tips: Semua tiket kereta api dapat dibeli online (dengan kartu kredit) melalui website Statens Järnvägar (SJ) di http://www.sj.se.
Bukti reservasi dicetak sendiri untuk ditukarkan dengan tiket sebenarnya di stasiun. Semua bahasa dalam tiket adalah bahasa Swedia, jadi pastikan Anda bertanya kepada petugas peron tentang gerbong dan kompartemen yang benar. Siapkan makanan sendiri supaya hemat. Pilihlah penginapan di dekat stasiun.
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar