Halaman

Selasa, 01 Maret 2011

Kenaikan Harga Minyak Mentah Berpotensi “Pecah” Keputusan ECB dan Fed

(Vibiznews – Business) – Seiring dengan kenaikan harga minyak mentah, tampaknya cukup besar kemungkinan bahwa Fed dan ECB akan mengambil langkah yang berbeda dalam penetapan kebijakan suku bunga (28/02). Isyu kenaikan harga minyak yang memicu inflasi akan mewarnai konferensi pers yang akan dilakukan oleh gubernur Fed dan ECB minggu ini.

Gubernur Fed Ben Bernanke dapat dipastikan akan menerima banyak pertanyaan mengenai isyu harga minyak mentah saat ia memberikan terstimoni di kongres AS pada hari Selasa dan Rabu waktu setempat.

Satu hari kemudian ECB akan melangsungkan pertemuan untuk membahas kebijakan mengenai suku bunga. ECB akan menentukan apakah harga minyak mentah yang sudah mencapai tiga digit akan menjadi ancaman langsung terhadap inflasi yang saat ini telah melampaui target dari bank sentral.

Seperti yang kita ketahui bersama ECB merupakan bank sentral yang memiliki mandat untuk fokus kepada penanggulangan inflasi. Dengan kondisi inflasi yang telah melampaui target saat ini kemungkinan besar ECB akan melakukan kebijakan peningkatan suku bunga acuan. Sejarah mencatatkan bahwa pada tahun 2008 lalu saat harga minyak mentah mengalami lonjakan liar, ECB memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya.

Sementara itu Fed memiliki kepentingan yang sedikit berbeda di mana tujuan utama dari bank sentral ini adalah untuk mempertahankan stabilitas harga dan menekan tingkat pengangguran. Dengan dua tujuan tersebut meningkatkan suku bunga bukan merupakan langkah yang bijaksana di saat proses pemulihan ekonomi masih berjalan lambat seperti saat ini.

Perbedaan Mandat dan Kondisi AS dan Eropa

Dalam testimoninya kepada kongres Bernanke kemungkinan akan memberikan pernyataan yang meyakinkan kongres bahwa pemulihan ekonomi di AS makin menguat meskipun belum mampu memberikan perbaikan yang signifikan di pasar tenaga kerja.

Bernanke kemungkinan besar juga akan mempertahankan pernyataannya yang dia berikan awal bulan lalu bahwa pemotongan yang tajam pada pengeluaran pemerintah akan mengakibatkan terganggunya proses pemulihan ekonomi dan berpotensi membahayakan. Kubu Republik ingin segera menurunkan pengeluaran sementara kubu Demokrat masih menginginkan pengeluaran pemerintah pada level saat ini.

Kenaikan harga minyak yang tajam akhir-akhir ini juga akan menimbulkan pertanyaan apakah Fed telah melakukan overstimulus terhadap ekonomi dan menanamkan benih inflasi. Bernanke sebelumnya telah berada di bawah tekanan kongres yang menginginkan agar Fed fokus kepada satu mandat, yaitu stabilitas harga.

Bernanke kemungkinan akan menggambarkan data ekonomi AS yang menunjukkan bahwa inflasi masih berada di level yang rendah, meskipun dengan harga pangan yang volatil dan kenaikan harga minyak yang terjadi saat ini. Data proxy inflasi AS akan dimumkan nanti malam.

Sementara itu kondisi di zona euro yang juga akan dimumkan hari ini tampaknya akan memberikan sinyal yang berbeda. Diperkirakan inflasi akan mencapai 2.4% (y/y) untuk bulan Januari lalu. Meskipun demikian inflasi inti tampaknya masih cukup moderat dan diperkirakan akan berada pada level 1.2%.

Akan tetapi Presedin ECB Jean-Claude Trichett menyatakan bahwa inflasi inti bukanlah alat prediksi yang terbaik untuk menentukan kemungkinan inflasi di masa depan. Pernyataan Trechett ini dianggap sebagai sinyal bahwa ECB akan meningkatkan suku bunga acuan lebih cepat dibandingkan perkiraan.

Sinyal peningkatan suku bunga oleh ECB ini telah mendorong nilai tukar euro mengalami kenaikan terhadap dolar AS.

Kristanto Nugroho selaku komisaris BBJ memberikan tanggapannya terkait isyu ini. Menurutnya kondisi AS dan Eropa sangat berbeda, peran Bank Sentral memang harus mengendalikan inflasi melalui instrumen moneter, dimana peningkatan suku bunga mungkin cocok untuk Eropa sebagai pengendali inflasi, namun bukan obat yang tepat untuk kasus ekonomi di AS, karena perlunya stimulus pertumbuhan ekonomi dan pengurangan pengangguran.

Sementara itu untuk kasus Indonesia tampaknya peningkatan BI rate masih akan terjadi. Dengan inflasi januari lalu yang mencapai 7% kemungkinan inflasi di Februari masih akan berada di kisaran 6 – 7%. Dengan situasi ini tampaknya BI akan kembali menaikkan BI rate, terutama di mana kondisi makroekonomi dalam negeri tampaknya masih cukup kuat bertahan dengan kenaikan BI rate.

(Ika Akbarwati/IA/vbn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar