Halaman

Jumat, 28 Januari 2011

China Masih Dibayangi Ancaman Penurunan GDP; Tahun 2016 Diprediksi Tertekan

(Vibiznews - Business) - Di tahun 2011, perekonomian China diprediksi akan dihadapkan pada situasi hati-hati paska bergerak culup signifikan di tahun lalu. Banyak kalangan terutama pasar melihat bahwa di tahun ini China justru akan bekerja keras dalam menjaga tingkat pertumbuhan ditengah adanya spekulasi akan terjadinya kelanjutan penurunan pertumbuhan ekonomi yang sempat terjadi di kuartal keempat tahun lalu. Berbagai ancaman fundamental memang telah membayangi, seperti halnya negara-negara industri lainnya, di awal tahun ini tekanan telah muncul dari sisi inflasi dimana kondisi tersebut diperoleh dari imbas kenaikan harga minyak mentah yang sempat melonjak ke level 91 dollar per barel.

Alhasil, beberapa kebijakan moneter pun telah berhasil diluncurkan guna meredam dampak dari kenaikan inflasi yang pada bulan ini dilaporkan mencapai level 4,3% dan akan masih berpeluang mengalami kenaikan menyusul naiknya mayoritas harga-harga komoditi pangan. Hal tersebut kini menjadi perhatian bagi pemerintah AS menyusul China yang kini merupakan importir komoditi pangan terbesar didunia. Pengetatan kebijakan dan juga kenaikan tingkat suku bunga menjadi solusi jangka pendek dalam meredam tingkat inflasi di awal tahun ini.

Kini, setelah kebijakan-kebijakan tersebut dijalankan, kekhawatiran kembali muncul di sektor kredit. Ancaman buble dari sektor kredit kembali muncul seiring dengan spekulasi terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi untuk tahun ini. Kekhawatiran tersebut terlihat dari polling yang dilakukan oleh Bloomberg pada hari ini (27/1) dimana pada polling tersebut sebanyak 43% pembaca menyatakan bahwa buble di sektor kredit menjadi ancaman yang cukup serius bagi perekonomian China tahun ini.

Kekhawatiran tersebut menghapuskan data positif yang dirilis oleh Biro Statistik China pekan lalu yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi untuk tahun lalu sebesar 10,3% yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2009 yang di level 9,2%. Sedangkan tingkat GDP mencapai 6 triliun dollar untuk tahun lalu. Para pembaca Bloomberg berpendapat bahwa batas melonjaknya perekonomian akan terjadi di tahun ini. Bahkan sebanyak 40% dari hasil poling menyatakan bahwa setelah tahun 2016 perekonomian China akan mengalami tekanan.

Menurut pembaca, pada lima tahun mendatang perekonomian China akan ditempa sebuah titik stres dimana tingkat inflasi akan mengancam dan disisi lain, sebagai negara industri terbesar saat ini China dihadapkan pada dampak peluang kenaikan harga komoditas yang menjadi bahan baku sektor industri. Spekulasi naiknya harga minyak mentah menjadi indikator bahwa kenaikan harga komoditi akan menjadi indikator yang sensitif bagi perekonomian China. Sedangkan disisi lain, penguatan yuan terhadap dollar pastinya akan menjadi sebuah tekanan tersendiri bagi sektor eksportir yang pastinya akan semakin dirugikan.

Dampak Negatif Bagi Ekonomi Asia

Jika melihat mengenai kondisi diatas, sudah barang tentu akan memunculkan kekhawatiran bagi perekonomian kawasan Asia. China yang memiliki GDP tertinggi di Asia dan dunia memiliki kapasitas penguasaan secara ekonomis bagi banyak negara. Negara eksportir sekaligus importir seperti China merupakan negara yang ideal bagi negara-negara yang memiliki produk yang dapat dijadikan sebagai bahan baku industri, salah satunya Indonesia yang merupakan eksportir beberapa komoditi utama seperti kelapa sawit, karet dan kakao yang menjadi favorit bagi industri pangan di China.


(Joko Praytno/JP/vbn)
Foto : www.dnewsglobal.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar