Halaman

Kamis, 09 Juni 2011

Kredit Tumbuh 23,5%, Ekonomi Rawan 'Overheating'

INILAH.COM, Jakarta – Pertumbuhan kredit hingga akhir Mei 2011 sebesar 23,5% dinilai ideal. Hanya saja, kapasitas ekonomi Indonesia bermasalah. Jika kredit tumbuh di atas 25%, rawan overheating.

Ekonom Universitas Ma Chung Malang Moch Doddy Arifianto mengatakan, level pertumbuhan kredit yang ideal bagi Indonesia adalah 22-25%. Karena itu, dia menilai positif pertumbuhan kredit 23,5% hingga akhir Mei 2011. Menurutnya, angka ini sudah proporsional dan sejajar dengan Produk Domestik Bruto (PDB).

Apalagi, porsi pertumbuhan kredit investasi mencapai 10% (year to date) dan 7,5% kredit konsumsi. Artinya, kredit investasi lebih tinggi dibandingkan kredit konsumsi dan modal kerja. “Hanya saja, level kredit tersebut sudah mendekati level kapasitas ekonomi, sehingga rawan overheating,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Rabu (8/6).

Dia menegaskan, Indonesia memiliki masalah pada kapasitas ekonomi. Artinya, jika kredit tumbuh di atas 25% akan booming. Memang, Produk Domestik Bruto (PDB) bisa tumbuh lebih lebih kencang, tapi perekonomian mengalami overheating.

Sekarang, lanjut Doddy, pertumbuhan kredit sudah sesuai kapasitasnya. Padahal, negara-negara maju saat ini sedang rontok seperti Jepang, Amerika dan zona Eropa. Negara-negara maju sedang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi seperti AS di level 1,8%, Jepang, kontraksi atau minus 1,2%, dan Zona Eropa rata-rata hanya tumbuh 1% kecuali Jerman dan Perancis.

Menurutnya, jika pertumbuhan ekonomi negara-negara maju sudah tak lagi melambat, ekonomi RI akan overheating. Sebab, negara-negara tersebut merupakan negara tujuan ekspor Indonesia. Menurutnya, pada saat negara maju melambat, Indonesia harus menggenjot kapasitas ekonomi. “Jika tidak, pada saat negara PDB negara maju optimal atau sesuai kapasitasnya, ekonomi Indonesia over heating akibat tumbuh kencangnya permintaan kredit,” ungkapnya.

Saat ini, lanjut Doddy, kapasitas ekonomi Indonesia hanya bisa menopang pertumbuhan 6-6,5%. Untuk meningkatkannya, perlu perbaikan infrastruktur dan regulasi birokrasi yang menjadi penyakit kronis.

Sekarang, PDB RI tak bisa dipacu lebih tinggi lagi. Kalaupun pemerintah menggenjotnya, hanya dari sisi demand, yakni pengeluaran pemerintah sendiri, stimulus fiskal dan sejenisnya. Tapi, jika kapasitas produksi tidak tumbuh, akan terjadi inflasi.

“Sebab, agregat demand lebih besar dibandingkan kapasitas produksi,” timpalnya. Dia menegaskan, daya beli lebih besar dibandingkan kapasitas produksi sehingga memicu demand pull inflation.

Sementara itu, dari sisi bunga kredit, berada dalam level terendah dalam sejarah suku bunga Indonesia sehingga turut mendorong pesatnya pertumbuhan kredit. Deposito di level 7-8% dan suku bunga kredit 12-13% sehingga net interest margin (NIM) 5,5%. NIM di level ini, merupakan yang tertinggi di dunia.

NIM ini, menurutnya, sebenarnya masih bisa ditekan. Sebab, NIM pada rata-rata kawasan ASEAN di level 3-4%. Tapi, tingginya NIM pun sebenarnya mencerminkan tingginya risiko kredit. Artinya, NIM 5,5% bisa dimaklumi karena risiko perusahaan Indonesia tidak sama dengan Malaysia dan Thailand. “Di sisi lain, BI pun sudah berupaya dengan keharusan bank mengumumkan SBDK (Suku Bunga Dasar Kredit),” imbuhnya.

Bank Indonesia melaporkan, pertumbuhan kredit industri perbankan hingga akhir Mei 2011 mencapai 23,5% (year on year/yoy). Pertumbuhan kredit year to date (Januar-Mei 2011) mencapai Rp 123 triliun atau 7% dan yoy mencapai Rp358 triliun atau mencapai 23,5%.

Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad mengatakan, pertumbuhan kredit investasi masih tetap dominan yakni sebesar mencapai 10% (year to date) disusul kredit konsumsi yang mencapai 7,5%. “Tapi memang, ada beberapa bank yang masih di bawah target Rencana Bisnis Bank (RBB). Namun, permintaan akan kredit masih akan kuat ke depan,” imbuhnya. [mdr]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar