Halaman

Senin, 27 Juni 2011

Modal Mahal, Daerah Malas Bikin Perusahaan Penjamin Kredit

Whery Enggo Prayogi - detikFinance
Jakarta - Sampai saat ini baru dua daerah yang memiliki perusahaan penjamin kredit. Bank Indonesia (BI) memberikan solusi agar daerah-daerah tak mampu bergabung membentuk lembaga penjamin kredit sendiri.

Peneliti Eksekutif Biro Stabilitas Sistem Keuangan BI Pungki Purnomo Wibowo menyampaikan, Perusahaan Penjamin Kredit Daerah (PPKD) dipercaya dapat mempercepat perbaikan akses masyarakat ke industri keuangan. Untuk itu provinsi yang berniat mendirikan lembaga penjaminan kredit, namun terkendala modal, mereka bisa bersatu.

"Lembaga penjaminan kredit bisa saja digabung untuk beberapa provinsi. Sampai saat ini baru ada dua provinsi yang memiliki," ujarnya di Gedung BI, Jalan Thamrin, Jakarta, Senin (27/6/2011).

Langkah penggabungan ini menjadi solusi bagi provinsi yang memiliki kendala permodalan. Pasalnya dalam PMK (peraturan menteri keuangan) No. 222 tahun 2008 disebutkan modal minimum yang wajib dipenuhi oleh suatu perusahaan pembiayaan daerah adalah Rp 50 miliar.

"Saat ini kan anggaran daerah tidak semuanya bisa memenuhi. Namun tetap ingin mendirikan penjaminan kredit. Nah, kalau permodalan minimum yang diusulkan turun menjadi Rp 25 miliar, apa bisa meng-cover risiko tersebut. Lebih baik bergabung," paparnya.

Menurut Deputi Gubernur BI, Muliaman Hadad, lembaga penjamin kredit daerah dapat memperbaiki akses masyarakat kepada industri perbankan. Untuk itu penting bagi BI mendorong pemerintah daerah segera membentuk lembaga sejenis.

Lembaga penjaminan kredit daerah merupakan bagian kecil dari upaya BI sebagai inisiatif nasional dalam strategi financial inclution, atau lazim kebijakan keuangan yang bersifat inklusif. Di mana tujuan akhir adalah seluruh masyarakat Indonesia bisa 'melek' bank dan dapat mengakses industri keuangan, utamanya bank.

"Indikator serta roadmap ada, karena ini bersifat nasional. Di sana ada target-target, jangka pendek, menengah, panjang. Tapi saya tidak pegang data. Intinya kita punya," papar Muliaman.

Cara lain untuk menerapkan kebijakan keuangan secara inklusif, dengan mendorong lebih aktifnya bank sentral untuk menyelenggarakan edukasi kepada masyarakat.

"Program financial inclution ini merupakan concern kita akan kepentingan kosumen, dan telah digagas lima tahun lalu. Bagaimana bank harus settle akan dispute. Ini bisa dihindari melalui edukasi," imbuhnya.
(wep/dnl)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar